(Liburan, Stereotype, dan Prasangka) – oleh: Carlita Setiawan

stereotypeDi dalam benak saya, pertemuan antar budaya selalu menyenangkan. Namun pada kenyataannya tidaklah demikian, banyak keterkejutan yang saya alami ketika mengalami hal tersebut. Hal tersebut dijelaskan oleh Thomas (1999) bahwa di dalam pertemuan antara dua atau lebih budaya  memang seringkai terjadi tumpang tindih antara sistem orientasi budaya yang satu dengan yang lainnya. Adanya situasi tersebut dapat menyebabkan persepsi, pola pikir, ataupun tingkah laku yang selama ini dianggap normal oleh individu menjadi sesuatu yang aneh karena tidak sejalan dengan persepsi, pola pikir, ataupun tingkah laku yang selama ini digunakan untuk mengevaluasi tingkah laku dan pola pikirnya. Hal itulah yang menyebabkan individu mengalami kebingungan, merasa terasing atau bahkan terancam yang dikenal dengan strangeness.

Salah satu kejadian yang saya alami adalah ketika saya berlibur ke Jepang pada tahun 2011 lalu. Pada saat saya sedang berjalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan di Tokyo dan menaiki eskalator dengan santainya, saya dan rekan mengobrol bersebelahan. Tiba-tiba seorang warga lokal menyerobot menaiki eskalator  melangkahi saya dan rekan dan sedikit mengumpat. Saya dan rekan cukup terkejut akan hal tersebut dan berpikir bahwa warga lokal tersebut sangat tidak sopan dan seenaknya menyerobot. Belakangan saya baru tahu bahwa di Jepang memang ada aturan secara tidak tertulis bahwa bagian sebelah kanan-bagian di mana saya berdiri santai dan ngobrol-  diperuntukkan untuk jalur cepat.  

Situasi yang saya alami ini dapat dijelaskan dari pembahasan mengenai strangeness yang dapat dilihat dari sudut pandang psikologi kognitif. Menurut sudut pandang ini, situasi keterasingan terjadi dikarenakan adanya disonansi kognitif. Disonansi kognitif itu terjadi ketika kita berhadapan dengan sesuatu yang tampak tidak familiar atau tidak sejalan dengan skema ataupun pengalaman kita (Thomas, 1999). Skema yang saya miliki adalah bahwa ketika menaiki eskalator di pusat perbelanjaan, orang bisa berdiri bebas di manapun dan jarang ada orang yang berjalan menyusuri escalator, apalagi sampai diserobot. Strangeness saya alami ketika menemukan kenyataan ternyata di Jepang, tidak boleh berdiri seenaknya ketika menaiki eskalator.

prejudiceTerjadinya strangeness tidak selalu berdampak negatif bagi individu yang mengalaminya. Bisa muncul dua respon (Thomas, 1999), yakni merasa terancam, bingung, tidak tenang (threatening) dan rasa penasaran (curiousity). Pada kejadian tersebut, yang saya alami pertama kali adalah respon threatening, di mana saya merasa kesal akibat diserobot dan diumpat oleh warga lokal. Tidak berhenti sampai hal ini saja, kemudian muncul pertanyaan di dalam benak saya, mengapa hal tersebut bisa sampai terjadi. Akhirnya saya menemukan jawabannya ketika beberapa kali memperhatikan kebiasaan warga lokal bahwa ternyata lajur kiri eskalator digunakan untuk berdiam dan lajur kanan digunakan untuk lajur cepat .

Dalam situasi pertemuan antar budaya yang saya alami, munculnya situasi yang tidak nyaman, saya sadari juga disebabkan oleh adanya stereotype terhadap budaya lain yang pada akhirnya memengaruhi tingkah laku. Salah satu contohnya saya alami saat saya pergi ke daerah Litte India di Singapore. Pengamatan saya ketika itu menyebabkan saya mengembangkan stereotype bahwa semua orang India kurang memelihara kebersihan pribadi dan lingkungan. Sederhananya, kurang higienis.  Ini menjadi alasan saya menghindari kelompok etnis India ataupun mereka yang penampilannya menyerupai etnis India.

Suatu ketika, saya ditugaskan untuk membeli kain di Pasar Mayestik, Jakarta Selatan untuk acara sekolah saya. Untuk pertama kalinya ke sana, saya terkejut karena ternyata komunitas pedaganga kain di Mayestik didominasi etnis India. Mau tidak mau saya melakukan transaksi jual beli dengan pedagang etnis India dan harus berkontak dengan mereka, demi terlaksananya tugas sekolah saya. Ternyata stereotype dan prasangka saya tersebut tidak terbukti sama sekali. Toko kain mereka cukup nyaman dan saya dapat bertransaksi juga dengan nyaman dan aman.  

Ketika saya melakukan generalisasi terhadap semua anggota etnis India, sebetulnya hal itu merupakan salah satu bentuk streotype. Dapat dikatakan demikian karena streotype merupakan suatu bentuk peneyederhaan terhadap berbagai aspek dari dunia sosial atau skema (Panggabean,2013). Sampai pada akhirnya saya menjadi tidak suka dan menghindari ketika bertemu dengan orang etnis India, hal ini sudah lebih jauh lagi dari stereotype,  dan sudah menjadi salah satu bentuk prasangka.  Karena sudah bukan hanya dalam tataran kognitif, melainkan sudah memengaruhi tataran afeksi dan tingkah laku, dan cukup sulit untuk diubah. Prasangka lebih berbahaya karena selain negative, tetapi juga sulit diubah, padahal tidak sepenuhnya benar. Untungnya pengalaman saya di Mayestik membuat saya dapat mengubah prasangka tersebut.

Ada kalanya stereotype berguna dan  tidak selalu dipandang negatif karena dapat membantu untuk penyesuaian diri yang cepat.  Salah satu contohnya saya alami ketika saya ikut serta dalam program live in di rumah warga selama satu minggu di sebuah desa di Yogyakarta. Di kala itu streotype yang saya mililk mengenai orang Jawa di desa adalah santun, suka bergotong royong, dan pekerja keras. Ketika saya harus tinggal dengan warga setempat di sana, saya berusaha untuk menyesuaikan diri terhadap warga setempat dengan bersikap ramah, menjaga sopan santun, dan saling membantu ketika berada di sana. Alhasil saya merasa sangat diterima dan membuat masa live in saya sangat nyaman. Padahal di awal saya sempat berpikir akan sangat menderita jika hidup di desa.

Lucunya, saat berbincang dengan warga setempat, ternyata mereka pun juga memiliki stereotype mengenai anak kota yang dianggap pemalas dan tidak mau hidup susah. Sehingga di awal kedatangan kami, mereka sedikit enggan untuk megikutsertakan kami ke dalam pekerjaan rumah atau aktivitas sehari-hari mereka seperti membersihkan rumah, berkebun, bercocok tanam, dan sebagainya. Namun karena kami juga menunjukkan sikap ramah dan mau bekerja keras pada akhirnya stereotype tersebut tidak terbukti dan prasangka mereka terhadap kami perlahan berubah. Adanya streotype demikian terhadap anak kota diakui tidak lepas dari media yang sering mereka lihat, seperti acara sinetron yang sering menampilkan gaya hidup anak kota yang digambarkan hidup nyaman, dipenuhi kemewahan dan suka bertindak semena-mena.

Daftar Pustaka

Thomas, A. (1999). Conception of ‘strangeness’ in psychology: Their importance for research into cross-cultural interchange. In A. Thomas. Contributions to intercultural psychology. Makalah, tidak diterbitkan. Regensburg: Regensburg University.

Jefry Suhendra

About Poster

Jefry has Master’s Degree in management from one of leading private university in Indonesia. He is a Client Relation Coordinator at Tjitra & associates, where he manages all marketing – related activities and works closely with the team to support Tjitra & associates’ clients

Jefry Suhendra – who has written posts on Global Indonesian Network.


Comments are closed.