images-1Menurut teori disonansi kognisi, individu memiliki kecenderungan untuk mempertahankan konsistensi kognisinya (Festinger, 1957). Kognisi adalah sekumpulan pengetahuan yang dimiliki oleh individu, baik itu berupa sikap, nilai, kepercayaan, pengalaman, opini dan lainnya. Ketika individu dihadapkan dengan suatu hal yang baru, hal-hal tersebut seringkali berbeda dan tidak sesuai dengan apa yang ada dipikirannya/diketahuinya selama ini. Perbedaan yang ada membuat timbulnya ketidakkonsistenan/ketidaksesuaian kognisi yang disebut dengan disonansi kognisi.

Strangeness yang ditimbulkan oleh disonansi kognisi ini membuat individu merasa tidak nyaman dan mendorong individu untuk melakukan sesuatu yang dapat mengurangi ketidaksesuaian kognisinya tersebut. Menurut Festinger dalam (Sorrentino dan Yamaguchi, 2008), ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh individu untuk mencapai hal ini, diantaranya adalah mengubah pikiran/kognisi, sikap ataupun perilaku yang dimilikinya dengan melakukan interpretasi ulang terhadap suatu kejadian, mencari informasi tambahan yang konsonan dengan kognisinya atau mengabaikan hal-hal yang tidak sesuai dengan kognisi/pengetahuan yang dimilikinya. Usaha yang dilakukan individu untuk mengatasi sense of strangeness tersebut sangatlah penting, karena menentukan efektivitas perilakunya.

Dalam konteks pertemuan antar kebudayaan yang berbeda, strangeness yang ditimbulkan oleh disonansi kognisi ini seringkali terjadi karena adanya perbedaan nilai dan norma. Disonansi kognisi yang terjadi akibat adanya pertemuan antar budaya yang berbeda/cross cultural encounters disebut sebagai cross cultural disonance (Arthur, 1957).

Contoh nyata dari pengalaman strangeness yang ditimbulkan oleh cross cultural disonance ini dialami oleh Emily Chan (dalam Deters, 2008), seorang guru yang berasal dari Hongkong dan ditugaskan ke Kanada pada tahun 2002 untuk mengajar di  Ontario secondary school. Datang dari Hong Kong dengan budaya dan sistem pendidikan yang menjunjung tinggi otoritas dan rasa hormat terhadap guru, membuat Emily merasa tidak nyaman mengajar di Kanada. Murid-murid di Kanada dinilai Emily sangat tidak menghormati guru dan sangat malas untuk belajar. Ketika di kelas, murid-murid di Kanada sangat ribut, berbicara satu dengan yang lain saat Emily sedang menerangkan, tidak mau melakukan apa yang Emily perintahkan, dan yang menurut Emily sangat tidak sopan adalah mereka berani keluar dari kelas tanpa izin terlebih dahulu. Mereka juga tidak segan untuk berargumen dengan Emily atas setiap umpan balik yang diberikan. Perbedaan sikap, nilai dan perilaku yang Emily temukan pada murid-murid di Kanada, membuatnya mengalami “strangeness” dan merasakan ketidaksukaan terhadap mereka. Namun, karena perannya sebagai guru ia mencoba untuk menerima hal tersebut.

Seiring dengan berjalannya waktu, ketidaksesuaian antara nilai dan keyakinan dalam budaya yang Emily rasakan  membuatnya pada akhirnya mencoba untuk memahami intensi dari perilaku murid di Kanada, karakteristik dari budaya dan sistem pendidikan di Kanada, serta gaya belajar murid-murid di Kanada. Ketika Emily telah memahami hal tersebut, keyakinan yang selama ini Emily pegang tentang bagaimana seharusnya murid dan guru harus berperilaku pun berubah. Emily mulai dapat menghargai cara belajar mereka yang berbeda. Murid-murid Kanada tidak lagi dinilai sebagi murid yang tidak memiliki rasa hormat, tetapi lebih kepada murid-murid yang sangat kreatif, ekspresif, mudah bergaul dan tidak takut untuk menyampaikan pendapat mereka. Setelah ia mengetahui intensi dari perilaku murid-murid di Kanada, konflik yang seringkali timbul dalam pikirannya menjadi berkurang, Emily pun dapat mengajar dengan lebih nyaman serta mampu  membangun hubungan yang positif dengan murid-muridnya. Bahkan Emily juga mendapatkan komentar-komentar yang positif dari murid-murid maupun orang tua dari murid tersebut mengenai cara mengajarnya.

Sama dengan apa yang Emily alami, saya pun pernah mengalami strangeness yang dipicu oleh cross culutural dissonance. Saat ini, saya masih bertugas sebagai perwakilan dari Atma Jaya untuk membimbing mahasiswa dari Jerman selama mereka belajar di Atma Jaya. Bertemu langsung, berkomunikasi bahkan menjadi teman orang Jerman merupakan sesuatu hal yang sangat baru bagi saya. Banyak hal dari diri teman Jerman saya yang sama sekali tidak sesuai dengan apa yang saya miliki, mulai dari sikap, pola pikir, ekspetasi, opini, nilai, bahkan sampai kepada hal-hal kecil seperti cara berpakaian, gaya berbicara dan ekspresi non verbal.

Contoh nyatanya adalah ketika pertama kali kami pergi jalan-jalan di sebuah tempat perbelanjaan, ia masuk ke dalam sebuah toko sepatu dan saya yang masih berada di luar melambaikan tangan saya ke depan dan ke belakang sambil mengatakan “come here, come here”, untuk memberitahukannya agar segera keluar dari toko dan melihat suatu pertunjukan. Namun, respon dari teman Jerman saya ini adalah marah-marah. Ia menanyakan kepada saya mengapa saya melakukan hal itu, dan menanyakan tentang kesalahan apa yang telah ia buat. Ternyata setelah saya klarifikasi lebih lanjut, gestur tangan melambai tanda “kemari” di Indonesia memiliki arti yang berbeda bagi orang Jerman. Bagi orang Jerman, gestur tangan seperti itu bukan menandakan perintah “kemari”, melainkan tanda mengusir seseorang. Dari situ saya pun merasa tidak enak hati karena telah menyinggungnya, meskipun saya tidak bermaksud demikian.

Sama halnya dengan saya, teman Indonesia saya yang juga bertugas untuk menemani teman Jerman ini ternyata juga merasakan ketidaknyamanan yang lebih besar dari pada apa yang saya rasakan. Apalagi ketika teman Jerman tersebut menceritakan kepada kami bahwa mereka suka minum bir, dan pergi ke tempat-tempat yang menurut kami tidak baik, teman saya yang juga orang Indonesia ini malahan semakin tidak suka dengan teman Jerman ini. Perbedaan-perbedaan tersebut pada akhirnya mengakibatkan hubungan pertemanan kami (saya dan teman saya yang juga orang Indonesia) dengan teman Jerman kami tidak berjalan dengan baik. Rasanya ada jarak yang membatasi kami untuk bisa berhubungan dekat.

Namun, setelah saya mengetahui tentang strangeness dari perspektif disonansi kognisi ini, saya dapat berpikir lebih luas. Selama ini yang ada dipikiran saya adalah sikap dan perilaku mereka negatif sehingga membuat saya tidak nyaman. Ternyata, sebenarnya ketidaknyamanan yang saya rasakan bukan dikarenakan oleh hal itu. Setelah saya belajar hal ini, saya memahami bahwa ketidaknyamanan yang saya rasakan dikarenakan oleh adanya ketidaksesuaian antara sikap, nilai, dan keyakinan yang teman Jerman saya miliki dengan yang selama ini saya pegang. Selama ini saya sama sekali tidak peka dengan konsep strangeness ini. Ketidakpekaan tersebut membuat saya beranggapan bahwa teman Jerman saya adalah orang yang tidak baik, hingga akhirnya membuat saya tidak melakukan usaha lebih lanjut untuk memperbaiki hubungan ini, melainkan malah menjauh dari hubungan tersebut untuk menghindari ketidaknyamanan.

Dengan memahami konsep ini, saya pun mencoba untuk melakukan interpretasi ulang terhadap apa yang selama ini saya persepsikan. Saya mencoba untuk mencari tahu, kebudayaan mereka dan ternyata benar bahwa sikap dan perilaku yang selama ini saya anggap tidak wajar merupakan hal yang normal, hanya saja perbedaan konteks budaya inilah yang membuat saya tidak terbiasa hingga pada akhirnya menilainya negatif. Namun ketika saya mengetahui apa yang melatarbelakangi sikap dan perilaku mereka, saya mulai mengubah persepsi saya agar dapat merasa nyaman.

Selain itu, saya rasa bukan hanya saya yang mengalami strangeness, teman Jerman saya juga pasti merasakannya. Mereka pasti juga menemukan sikap dan perilaku pada diri saya yang tidak sesuai dengan apa yang ia pikirkan selama ini. Oleh karena itu, ada langkah penting yang saya rasa harus saya lakukan, yaitu dengan mencoba untuk mengkomunikasikan ketidaknyamanan yang kami miliki masing-masing. Saya akan mencoba untuk berdiskusi dengan teman Jerman saya ini agar kami saling mengenal budaya serta karakteristik kami satu sama lain, memperluas pandangan kami, hingga akhirnya dapat mengatasi disonansi kognisi yang kami alami. Karena seperti yang telah disebutkan diatas bahwa usaha yang dilakukan individu untuk mengatasi sense of strangeness tersebut sangatlah penting dalam menentukan keefektifan perilaku yang akan dimunculkan.

Dengan demikian, saya dapat memandang perbedaan bukan menjadi sesuatu hal yang negatif, melainkan tantangan yang mendorong saya untuk terus memperluas cara pandang saya dan belajar untuk dapat mengadaptasikan sikap, perilaku, dan keyakinan sesuai dengan konteks yang ada. Apalagi di Indonesia sendiri, dengan budaya yang beraneka ragam, dimana ketidaksesuaian sikap, keyakinan, dan perilaku akan lebih sering ditemui, kemampuan untuk dapat berpikir lebih luas dan beradaptasi dengan konteks yang ada sangatlah penting. Hal ini mampu membuat individu saling menghargai perbedaan yang ada dan  menghindari konflik yang terjadi antar budaya.

Menurut teori disonansi kognisi, individu memiliki kecenderungan untuk mempertahankan konsistensi kognisinya (Festinger, 1957). Kognisi adalah sekumpulan pengetahuan yang dimiliki oleh individu, baik itu berupa sikap, nilai, kepercayaan, pengalaman, opini dan lainnya. Ketika individu dihadapkan dengan suatu hal yang baru, hal-hal tersebut seringkali berbeda dan tidak sesuai dengan apa yang ada dipikirannya/diketahuinya selama ini. Perbedaan yang ada membuat timbulnya ketidakkonsistenan/ketidaksesuaian kognisi yang disebut dengan disonansi kognisi.

Strangeness yang ditimbulkan oleh disonansi kognisi ini membuat individu merasa tidak nyaman dan mendorong individu untuk melakukan sesuatu yang dapat mengurangi ketidaksesuaian kognisinya tersebut. Menurut Festinger dalam (Sorrentino dan Yamaguchi, 2008), ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh individu untuk mencapai hal ini, diantaranya adalah mengubah pikiran/kognisi, sikap ataupun perilaku yang dimilikinya dengan melakukan interpretasi ulang terhadap suatu kejadian, mencari informasi tambahan yang konsonan dengan kognisinya atau mengabaikan hal-hal yang tidak sesuai dengan kognisi/pengetahuan yang dimilikinya. Usaha yang dilakukan individu untuk mengatasi sense of strangeness tersebut sangatlah penting, karena menentukan efektivitas perilakunya.

Dalam konteks pertemuan antar kebudayaan yang berbeda, strangeness yang ditimbulkan oleh disonansi kognisi ini seringkali terjadi karena adanya perbedaan nilai dan norma. Disonansi kognisi yang terjadi akibat adanya pertemuan antar budaya yang berbeda/cross cultural encounters disebut sebagai cross cultural disonance (Arthur, 1957).

Contoh nyata dari pengalaman strangeness yang ditimbulkan oleh cross cultural disonance ini dialami oleh Emily Chan (dalam Deters, 2008), seorang guru yang berasal dari Hongkong dan ditugaskan ke Kanada pada tahun 2002 untuk mengajar di  Ontario secondary school. Datang dari Hong Kong dengan budaya dan sistem pendidikan yang menjunjung tinggi otoritas dan rasa hormat terhadap guru, membuat Emily merasa tidak nyaman mengajar di Kanada. Murid-murid di Kanada dinilai Emily sangat tidak menghormati guru dan sangat malas untuk belajar. Ketika di kelas, murid-murid di Kanada sangat ribut, berbicara satu dengan yang lain saat Emily sedang menerangkan, tidak mau melakukan apa yang Emily perintahkan, dan yang menurut Emily sangat tidak sopan adalah mereka berani keluar dari kelas tanpa izin terlebih dahulu. Mereka juga tidak segan untuk berargumen dengan Emily atas setiap umpan balik yang diberikan. Perbedaan sikap, nilai dan perilaku yang Emily temukan pada murid-murid di Kanada, membuatnya mengalami “strangeness” dan merasakan ketidaksukaan terhadap mereka. Namun, karena perannya sebagai guru ia mencoba untuk menerima hal tersebut.

Seiring dengan berjalannya waktu, ketidaksesuaian antara nilai dan keyakinan dalam budaya yang Emily rasakan  membuatnya pada akhirnya mencoba untuk memahami intensi dari perilaku murid di Kanada, karakteristik dari budaya dan sistem pendidikan di Kanada, serta gaya belajar murid-murid di Kanada. Ketika Emily telah memahami hal tersebut, keyakinan yang selama ini Emily pegang tentang bagaimana seharusnya murid dan guru harus berperilaku pun berubah. Emily mulai dapat menghargai cara belajar mereka yang berbeda. Murid-murid Kanada tidak lagi dinilai sebagi murid yang tidak memiliki rasa hormat, tetapi lebih kepada murid-murid yang sangat kreatif, ekspresif, mudah bergaul dan tidak takut untuk menyampaikan pendapat mereka. Setelah ia mengetahui intensi dari perilaku murid-murid di Kanada, konflik yang seringkali timbul dalam pikirannya menjadi berkurang, Emily pun dapat mengajar dengan lebih nyaman serta mampu  membangun hubungan yang positif dengan murid-muridnya. Bahkan Emily juga mendapatkan komentar-komentar yang positif dari murid-murid maupun orang tua dari murid tersebut mengenai cara mengajarnya.

Sama dengan apa yang Emily alami, saya pun pernah mengalami strangeness yang dipicu oleh cross culutural dissonance. Saat ini, saya masih bertugas sebagai perwakilan dari Atma Jaya untuk membimbing mahasiswa dari Jerman selama mereka belajar di Atma Jaya. Bertemu langsung, berkomunikasi bahkan menjadi teman orang Jerman merupakan sesuatu hal yang sangat baru bagi saya. Banyak hal dari diri teman Jerman saya yang sama sekali tidak sesuai dengan apa yang saya miliki, mulai dari sikap, pola pikir, ekspetasi, opini, nilai, bahkan sampai kepada hal-hal kecil seperti cara berpakaian, gaya berbicara dan ekspresi non verbal.

Contoh nyatanya adalah ketika pertama kali kami pergi jalan-jalan di sebuah tempat perbelanjaan, ia masuk ke dalam sebuah toko sepatu dan saya yang masih berada di luar melambaikan tangan saya ke depan dan ke belakang sambil mengatakan “come here, come here”, untuk memberitahukannya agar segera keluar dari toko dan melihat suatu pertunjukan. Namun, respon dari teman Jerman saya ini adalah marah-marah. Ia menanyakan kepada saya mengapa saya melakukan hal itu, dan menanyakan tentang kesalahan apa yang telah ia buat. Ternyata setelah saya klarifikasi lebih lanjut, gestur tangan melambai tanda “kemari” di Indonesia memiliki arti yang berbeda bagi orang Jerman. Bagi orang Jerman, gestur tangan seperti itu bukan menandakan perintah “kemari”, melainkan tanda mengusir seseorang. Dari situ saya pun merasa tidak enak hati karena telah menyinggungnya, meskipun saya tidak bermaksud demikian.

Sama halnya dengan saya, teman Indonesia saya yang juga bertugas untuk menemani teman Jerman ini ternyata juga merasakan ketidaknyamanan yang lebih besar dari pada apa yang saya rasakan. Apalagi ketika teman Jerman tersebut menceritakan kepada kami bahwa mereka suka minum bir, dan pergi ke tempat-tempat yang menurut kami tidak baik, teman saya yang juga orang Indonesia ini malahan semakin tidak suka dengan teman Jerman ini. Perbedaan-perbedaan tersebut pada akhirnya mengakibatkan hubungan pertemanan kami (saya dan teman saya yang juga orang Indonesia) dengan teman Jerman kami tidak berjalan dengan baik. Rasanya ada jarak yang membatasi kami untuk bisa berhubungan dekat.

Namun, setelah saya mengetahui tentang strangeness dari perspektif disonansi kognisi ini, saya dapat berpikir lebih luas. Selama ini yang ada dipikiran saya adalah sikap dan perilaku mereka negatif sehingga membuat saya tidak nyaman. Ternyata, sebenarnya ketidaknyamanan yang saya rasakan bukan dikarenakan oleh hal itu. Setelah saya belajar hal ini, saya memahami bahwa ketidaknyamanan yang saya rasakan dikarenakan oleh adanya ketidaksesuaian antara sikap, nilai, dan keyakinan yang teman Jerman saya miliki dengan yang selama ini saya pegang. Selama ini saya sama sekali tidak peka dengan konsep strangeness ini. Ketidakpekaan tersebut membuat saya beranggapan bahwa teman Jerman saya adalah orang yang tidak baik, hingga akhirnya membuat saya tidak melakukan usaha lebih lanjut untuk memperbaiki hubungan ini, melainkan malah menjauh dari hubungan tersebut untuk menghindari ketidaknyamanan.

Dengan memahami konsep ini, saya pun mencoba untuk melakukan interpretasi ulang terhadap apa yang selama ini saya persepsikan. Saya mencoba untuk mencari tahu, kebudayaan mereka dan ternyata benar bahwa sikap dan perilaku yang selama ini saya anggap tidak wajar merupakan hal yang normal, hanya saja perbedaan konteks budaya inilah yang membuat saya tidak terbiasa hingga pada akhirnya menilainya negatif. Namun ketika saya mengetahui apa yang melatarbelakangi sikap dan perilaku mereka, saya mulai mengubah persepsi saya agar dapat merasa nyaman.

Selain itu, saya rasa bukan hanya saya yang mengalami strangeness, teman Jerman saya juga pasti merasakannya. Mereka pasti juga menemukan sikap dan perilaku pada diri saya yang tidak sesuai dengan apa yang ia pikirkan selama ini. Oleh karena itu, ada langkah penting yang saya rasa harus saya lakukan, yaitu dengan mencoba untuk mengkomunikasikan ketidaknyamanan yang kami miliki masing-masing. Saya akan mencoba untuk berdiskusi dengan teman Jerman saya ini agar kami saling mengenal budaya serta karakteristik kami satu sama lain, memperluas pandangan kami, hingga akhirnya dapat mengatasi disonansi kognisi yang kami alami. Karena seperti yang telah disebutkan diatas bahwa usaha yang dilakukan individu untuk mengatasi sense of strangeness tersebut sangatlah penting dalam menentukan keefektifan perilaku yang akan dimunculkan.

Dengan demikian, saya dapat memandang perbedaan bukan menjadi sesuatu hal yang negatif, melainkan tantangan yang mendorong saya untuk terus memperluas cara pandang saya dan belajar untuk dapat mengadaptasikan sikap, perilaku, dan keyakinan sesuai dengan konteks yang ada. Apalagi di Indonesia sendiri, dengan budaya yang beraneka ragam, dimana ketidaksesuaian sikap, keyakinan, dan perilaku akan lebih sering ditemui, kemampuan untuk dapat berpikir lebih luas dan beradaptasi dengan konteks yang ada sangatlah penting. Hal ini mampu membuat individu saling menghargai perbedaan yang ada dan  menghindari konflik yang terjadi antar budaya.

By : Natasha Olivia Candra

Universitas Atma Jaya ( 2010-070-046 )

About Poster

Global Indonesian Network – who has written posts on Global Indonesian Network.


Tagged with:
 

Comments are closed.