full cover Pemimpin dan PerubahanKetika diminta untuk membaca buku “Pemimpin dan Perubahan: Langgam Terobosan Profesional Bisnis Indonesia” sebagai acuan untuk penulisan paper ujian akhir semester, saya berpikir bahwa isi buku ini hanya sedikit berkaitan dengan materi kuliah. Pemikiran saya ini disebabkan karena judul buku tersebut. Pada awalnya saya membayangkan perubahan yang dimaksud dalam buku hanya berkaitan dengan pemimpin: bagaimana peran pemimpin dalam mendampingi perusahaan dan anak buahnya melewati suatu perubahan yang disebabkan karena pergantian pemimpin, sistem kerja di kantor, dan bertujuan sebagai pengembangan dan menghindari kehancuran perusahaan.

Pemikiran saya pertama kali berubah setelah membaca kalimat yang terdapat pada prolog: “…kepemimpinan dan perubahan tidak dapat dilepaskan dari konteks budaya perilaku manusia”. Saya kemudian menyadari bahwa dua hal utama yang dibahas dalam buku ini, yaitu perubahan dan kepemimpinan, berkaitan erat dengan budaya. Perilaku dan kepribadian seorang pemimpin yang pada buku ini dikatakan memiliki peran penting terhadap arah dan keberhasilan perubahan di perusahaannya, sangat dipengaruhi oleh budaya tempat ia dibesarkan. Keberhasilan perubahan yang terjadi juga dipengaruhi sejauh mana anak buahnya dapat menerima si pemimpin ini, yang dipengaruhi budaya lingkungan sekitar perusahaan atau budaya yang mempengaruhi para karyawannya. Intinya, bagaimana masing-masing budaya dapat saling diterima dalam interaksi antara pemimpin dengan anak buahnya.

Bagian selanjutnya yang membuat saya mengangguk menyetujui adalah pada halaman tujuh, bagian d: “pada saat kompleksitas dan kesulitan memuncak, ada kalanya para pelaku perubahan mengalami ketegangan psikologis”. Hal ini saya lihat tidak hanya dalam perubahan di organisasi atau perusahaan, tapi dapat juga terjadi ketika suatu perusahaan menugaskan karyawannya ke luar daerah atau luar negeri. Utusan perusahaan ini dapat mengalami ketegangan psikologis karena segala hal yang terdapat di lingkungan tersebut baru dan asing baginya, sehingga dapat menimbulkan “keterkejutan”.  Panggabean (2004) menyebutkan bahwa kerjasama antar budaya dapat menimbulkan dampak seperti stres emosional (Barna, 1983), culture shock (Bochner, 1981), masalah komunikasi (Tjitra, 2001) dan kegagalan pencapaian tugas (Dunn, 1980; Brein & David, 1981 dalam Barna, 1983).

Karakteristik khas pemimpin Indonesia yang dibahas dalam buku ini adalah “bapakisme”, yaitu bersikap tegas, namun mengayomi dan mendukung anak buahnya. Pada halaman 7-15 dijelaskan mengenai karakteristik yang diharapkan oleh bawahan untuk ditampilkan oleh pemimpinnya saat menjalani masa perubahan. Survei yang dilakukan oleh James Kouzes dan Barry Posner di Amerika Serikat menemukan faktor yang menentukan kredibilitas seorang pemimpin yaitu berambisi, broad-minded, penuh perhatian, kompeten, kooperatif, berani, dapat diandalkan, gigih, dan adil. Sedangkan di Indonesia harapan anak buah terhadap pemimpin selama proses perubahan adalah: menjalankan komitmen dengan konsisten dan konsekuen, memberi arahan, memberi kepercayaan kepada bawahan, dan dapat menjadi panutan. Harapan terhadap pimpinan inilah yang dapat menimbulkan konflik apabila ternyata tidak tepat dengan karakteristik pemimpinnya. Baik harapan anak buah maupun karakteristik pemimpin, keduanya dipengaruhi oleh budaya masing-masing, karena berkenaan dengan nilai, norma, dan kebiasaan tempat masing-masing individu ini dibesarkan.

Bagian yang paling penting menurut saya adalah semangat belajar, yang dibahas pada halaman 94-96. Semangat belajar seharusnya tidak hanya dimunculkan ketika menghadapi suatu perubahan, namun setiap saat, jika individu tersebut ingin maju dan berkembang. Belajar harus segera dilakukan karena, seperti yang dikatakan oleh penulis di bukunya, bahwa berubah diidentikkan dengan belajar, dan indikator hasil belajar dinyatakan dalam perubahan perilaku. Semangat belajar juga tidak hanya dimiliki oleh orang tertentu, misalnya hanya pemimpin, namun juga semua orang, pada setiap posisi di suatu perusahaan. Orang biasanya menyukai kestabilan dan enggan keluar dari comfort zone-nya. Saya ingat penjelasan mengenai comfort zone yang diberikan di kelas ketika menghadapi suatu budaya baru yang asing bagi kita. Kebanyakan orang yang menghadapi budaya baru ini akan mencari teman yang berasal dari negara/daerahnya dan sehari-hari bergaul dengan mereka. Hal ini dilakukan karena kelompok orang yang “sama” ini adalah comfort zone mereka dan lebih menyenangkan dibandingkan jika harus behadapan dengan orang-orang asing dengan bahasa dan tata perilaku yang asing bagi mereka.

Bagian Adaptasi diri menyebutkan bahwa banyak perusahaan yang menyelenggarakan program-program seperti training, baik hard skill maupun soft skill untuk mempersiapkan karyawannya menghadapi suatu perubahan. Dalam perkuliahan juga dibahas mengenai usaha mempersiapkan individu dalam menghadapi budaya baru ketika ditugaskan ke luar daerah atau ke luar negeri. Program semacam ini diperlukan bagi setiap orang yang akan menghadapi suatu perubahan karena dapat membantu mengurangi ketakutan dan kecemasan akan perubahan karena masalah kompetensi.

Pada konteks pembahasan buku, bahasa dan komunikasi dikatakan penting dan krusial dalam perubahan, untuk mengkomunikasikan perubahan tersebut. Cara yang paling umum adalah kehadiran fisik dan tatap muka. Namun untuk konteks perubahan yang terjadi ketika menghadapi perbedaan budaya, bahasa dan komunikasi akan sedikit banyak menjadi kendala, karena orang yang berasal dari budaya yang berbeda harus berhadapan dan menggunakan suatu bahasa yang dimengerti bersama. Hal ini mengantarkan saya pada kesimpulan bahwa penugasan karyawan lokal yang tidak cukup culture-adaptable sebaiknya tidak dilakukan untuk sosialisasi perubahan organisasi. Atau orang yang tidak cukup culture-adaptable sebaiknya tidak menjadi change-agent perusahaan.

Bagian lain yang menarik adalah Pemahaman Budaya dan Kerendahan Hati dan Keterlibatan. Cara berpikir dan kebiasaan akan berbeda pada setiap kebudayaan, sehingga untuk dapat “merakyat” dibutuhkan pemahaman akan budaya ini. Kerendahan hati diperlukan dalam memahami kebudayaan yang asing. Seperti disebutkan oleh narasumber yang dihadirkan pada suatu jam perkuliahan, bahwa yang diperlukan untuk memahami budaya lain adalah mendengarkan.

Secara garis besar insight yang saya peroleh dari pengalaman membaca buku ini adalah bahwa perubahan membutuhkan kemauan dari individu untuk mempelajari hal baru, semangat dan kerendahan hati dalam menerima pelajaran tersebut. Secara keseluruhan, bahasa yang digunakan mudah dipahami, sehingga saya sebagai orang yang awam mengenai perusahaan dan sedang mempelajari perubahan budaya juga dapat menikmati isi buku ini.

Oleh: Putri Diah Rizani (2008.070.227)

About Poster

Global Indonesian Network – who has written posts on Global Indonesian Network.


Tagged with:
 

Comments are closed.