IMG00087-20130523-0905Peran assessment centre dalam talent selection maupun development di Indonesia semakin meningkat. Tingkat reliabilitas yang lebih tinggi dibandingkan metode lainnya, serta bentuk simulasi dan case yang dipandang mewakili pekerjaan sebenarnya oleh kandidat, meningkatkan kepercayaan pengguna. Di sisi lain, kualitas tersebut juga berkorelasi positif dengan harga yang dicharge provider untuk pelaksanaannya, serta waktu yang diperlukan mulai dari membuat rancangannya hingga laporan dan feedback, sehingga biasanya metode ini diaplikasikan untuk level leaders dalam organisasi. Dengan demikian, kompetensi yang perlu dimiliki para leaders tersebut menjadi penting untuk didefinisikan dengan baik, agar assessment centre dapat berkontribusi maksimal.     

Pertanyaannya kini, bagaimanakah kompetensi para pemimpin Indonesia di masa depan ? Apakah ada hal – hal tertentu yang perlu diperhatikan dan dikembangkan untuk menghasilkan pemimpin yang mampu bersaing di kancah global ? Dr. Hana Panggabean menyampaikan pendapat profesionalnya sebagai akademisi, diperkuat dengan beberapa hasil penelitiannya di bidang kepemimpinan, perubahan, dan budaya. 

Sebagaimana kita semua ketahui, peran pemimpin dalam sebuah organisasi kiranya tidak perlu dipertanyakan lagi. Akan tetapi, peran tersebut kian menjadi strategis ketika organisasi menghadapi perubahan, mengingat pemimpin adalah kunci perubahan itu sendiri. Dengan perkembangan bisnis yang kian cepat, dan perubahan yang tidak terelakkan di era global, maka transformasi organisasi menuntut  pemimpin yang mampu beradaptasi dengan perubahan.  Penelitian yang dilakukan oleh Unika Atma Jaya, bekerja sama dengan Tjitra Management Consulting, Columbia University, dan Global Change Alliance, menemukan model kepemimpinan perubahan yang efektif. Uniknya, ketika model tersebut dikonfirmasikan kepada para responden yang mayoritas adalah C – level executives, mereka dengan cepat menyetujui sisi pengelolaan personal dalam perubahan dibandingkan dengan sisi perencanaan strategis dalam inisiatif perubahan. Kekhasan pengelolaan personal tersebut relatif jarang ditemukan dalam konfirmasi hasil penelitian yang sama di negara – negara barat. 

Menurut Dr. Hana, hal tersebut disebabkan karena pemimpin tidak terlepas dari konteks budaya yang telah membentuknya, dengan kata lain, leadership is not culture free. Budaya Indonesia yang berorientasi pada hubungan dengan sesama – baik yang sifatnya horisontal (social harmony) maupun vertikal (respek), melatarbelakangi pentingnya pengelolaan personal dalam pandangan para pemimpin ketika mengelola perubahan.  Bahkan, ketiga konsep kepemimpinan yang tak lekang oleh waktu ala Ki Hajar Dewantara pun menekankan pentingnya people orientation dari seorang pemimpin. Hal ini diperkuat dengan survei majalah SWA bahwa suasana kerja yang nyaman, kekeluargaan dan saling menghargai dipilih oleh 43 % karyawan sebagai faktor paling penting di tempat kerja, dibandingkan dengan gaji, tunjangan, dan fasilitas standar yang hanya dipilih oleh 12 % karyawan. 

Dengan demikian, apakah kemampuan dan perhatian pemimpin Indonesia terhadap pengelolaan personal tersebut dapat kita nyatakan sebagai kekhasan dan kekuatan pemimpin Indonesia untuk bersaing di tingkat global ? Ternyata, hasil penelitian Dr. Hana dan rekan – rekannya yang didanai oleh Human Capital Leadership, Singapura, menemukan adanya beberapa pekerjaan rumah yang harus dibenahi sebelum kita dapat menyatakan people orientation sebagai kekuatan. Pertama, keberagaman  suku dan etnis yang kita alami sehari – hari di Indonesia tidak berarti bahwa dengan serta merta kita toleran terhadap keberagaman budaya global. Perlu adanya usaha sistematis untuk mengubah pandangan kita untuk mencari persamaan diantara keragaman yang ada, dibandingkan dengan perbedaannya seperti yang kita lakukan selama ini. Kedua, bagaimana kita dapat mengembangkan kepekaan terhadap orang lain – khususnya yang berbeda budaya, bukan ‘getting personal‘ atau peka terhadap diri sendiri. Ketiga, kita harus belajar bahwa kebiasaan kita untuk menghindari konflik pada akhirnya akan menghasilkan konflik yang lebih besar, sehingga kita perlu mempelajari cara – cara untuk menangani dan memberdayakan konflik, bukan menghindarinya. Terakhir, kebiasaan kita untuk berkomunikasi secara implisit – khususnya dengan bahasa tubuh, justru sulit dimengerti oleh orang lain yang tidak dibesarkan dalam budaya yang sama. Dengan demikian, komunikasi eksplisit – yang disertai dengan penguasaan bahasa asing untuk mempermudah komunikasi, merupakan jembatan penghubung kita untuk memasuki kancah persaingan global. Kemampuan komunikasi ini perlu diperkuat dengan expertise dalam keahlian teknis dan etika kerja yang kuat, agar mampu berdiri setara dengan bangsa lain di era globalisasi.     

Dr. Hana Panggabean

Kongres Nasional III – Assessment Centre Indonesia 2013

JW Marriot Hotel, 23 Mei 2013

About Poster

Global Indonesian Network – who has written posts on Global Indonesian Network.


Tagged with:
 

Comments are closed.