mediumStrangeness dapat dihubungkan dengan social identity, yaitu pengetahuan seseorang mengenai hubungannya terhadap kelompok sosial tertentu disertai dengan ikatan emosional, sehingga orang tersebut merasakan dirinya menjadi anggota atau bagian dari kelompok sosial itu.

Strangeness sendiri dapat dirasakan ketika seorang individu telah membentuk social identity terhadap suatu kelompok tertentu, kemudian bertemu dengan kelompok atau orang lain di luar dirinya yang memiliki social identity yang berbeda. Selain itu, strangeness juga dapat dirasakan ketika seorang individu yang masuk ke dalam sebuah kelompok yang baru. Ketika individu dengan telah memiliki social identity dengan kelompok tertentu, maka dirinya akan merasakan in-group dengan kelompok itu (karena sudah menjadi bagian atau anggota dari kelompok tersebut) dan memandang kelompok lain sebagai out-group. Individu akan menilai in-group lebih positif dibandingkan dengan out-group.

Selain itu, ketika individu memiliki identitas yang cukup kuat dan secara sosial cukup stabil dan aman, maka akan terbentuk sistem proteksi diri terhadap pengaruh dari luar. Individu atau kelompok cenderung melindungi kelompoknya atau menolak pengaruh dari luar dengan sikap arogan yaitu merasa superior dibandingkan kelompok lain. Ketika sesama anggota memberikan sikap atau perilaku arogan yang sama kepada kelompok lain, hal ini akan memperkuat perasaan diri kita bahwa kelompok kita memang superior dibandingkan kelompok lain.

Sebagai contoh strangeness yang penulis rasakan sendiri adalah ketika memasuki dunia perkuliahan di Psikologi Unika Atma Jaya, mahasiswa dituntut untuk aktif dalam berorganisasi. Dengan adanya tuntutat tersebut, penulis memasuki salah satu organisasi yaitu Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas Psikologi MAPLE (Unit kegiatan pelatihan mahasiswa). Penulis merasakan strangeness ketika memasuki kelompok yang baru karena belum memiliki pengetahuan serta ikatan emosi dengan kelompok yang dimasukkinya tersebut. Namun, sesuai dengan perkembangan waktu yaitu masa kepengurusan selama satu tahun penulis pada akhirnya telah memiliki social identity dengan Maple sendiri. Hal ini tentu saja tidak hanya semata-mata terjadi begitu saja, namun melalui proses tersendiri untuk merasakan ikatan emosi dengan kenaggotaannya di dalam MAPLE.

Contoh lain yang juga dapat digambarkan oleh penulis melalui pengalaman pribadinya adalah ketika penulis yang mengikuti project yang diadakan oleh MAPLE sebagai kerjasama dengan Universitas Pelita Harapan fakultas food technology. Project yang diadakan adalah pemberian training kepada para mahasiswa baru yang masuk ke fakultas teknik pangan di Universitas Pelita harapan tersebut. Dalam proses ikatan kerjasama ini terlibat dua pihak, yaitu pihak MAPLE dari fakultas Psikologi Atma Jaya dan fakultas Teknik Pangan dari UPH.  Penulis sebagai pihak dari MAPLE merasakan adanya strangeness ketika bertemu dengan pihak panitia dari UPH (adanya perbedaan yang cukup terlihat antara MAPLE dengan UPH). Hal ini dilihat dari proses kerjasama UPH dengan MAPLE, seperti kelompok UPH selalu mengeluarkan teori-teori pangan sedangkan kelompok MAPLE mengeluarkan teori-teori psikologis. Selain itu, topik penelitian yang diadakan adalah mengenai awareness, namun ketika kedua pihak saling berdiskusi sangat terlihat kebingungan dari keduanya karena adanya perbedaan definisi awareness yang dipegang oleh masing-masing pihak.

In group dan out group terlihat ketika kelompok pihak MAPLE saling berdiskusi. Ketika sedang berdiskusi beberapa dari pihak MAPLE menyatakan penilaian yang negatif terhadap pihak UPH bahwa pihak UPH cenderung kurang pandai. Hal ini dikarenakan pihak UPH terlihat tidak mengerti dengan apa yang disampaikan oleh kelompok MAPLE. Pernyataan tersebut disampaikan oleh beberapa anggota MAPLE yang sudah cukup lama, sedangkan seorang anggota baru justru menyatakan bahwa belum tentu kelompok UPH kurang pintar karena terdapat banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi. Ia juga menyatakan apabila pihak MAPLE yang diajak berdiskusi tentang biologi atau terkait dengan pangan, apakah semua dari pihak MAPLE juga akan mengerti dengan tepat apa yang disampaikan oleh pihak UPH.

Perspektif teoritis social identity ini sering kita temui di keseharian kita, namun jarang dikritisi sehingga seakan-akan setiap orang tidak merasakan perannya dalam hidup kita. Seperti pembahasan sebelumya mengenai konsep in group dan out group, pemahaman akan konsep ini penting agar individu dapat berpikir lebih luas, sehingga memiliki sikap yang netral terhadap out group atau kelompok lain. 

Raissa Valentine (2010-070-048)

Bachelor Student in Psychology

Atma Jaya Catholic University of Indonesia

 

About Poster

Global Indonesian Network – who has written posts on Global Indonesian Network.


Tagged with:
 

Comments are closed.