images-3"Aneh”, sebuah kata yang memiliki konotasi dan asosiasi negatif di otak saya. Kata yang tidak jauh berbeda dari weird, freak, dan teman-temannya yang lain. Ketika membayangkan “aneh” adalah seseorang, yang muncul di bayangan saya adalah seseorang yang hampir sepanjang hari berada di perpustakaan, membaca buku-buku yang tebal, dengan kacamata yang juga tebal dan kaus kemeja dengan kerah yang dikancing maksimal. Jangan salahkan saya, kalau saya menganggap sesuatu yang berbeda dari apa yang saya anggap familiar sebagai sesuatu yang aneh. Tidak perlu bingung membayangkan hal-hal yang kompleks. Hal-hal sederhana pun mampu membangun rasa aneh di hati saya. Mulai dari langit yang tidak juga menjadi gelap walau waktu sudah menunjukkan pukul 18.30 (akhir-akhir ini memang seperti itu), bus angkutan umum yang dengan sopannya tetap mengambil jalur kiri tanpa memotong ke kanan, motor-motor yang berhenti di belakang garis putih ketika lampu hijau baru saja berubah menjadi lampu kuning (dan bukannya mempercepat laju motor mereka menembus lampu kuning yang memang tampak tiada gunanya di mata hampir semua pengguna jalan), dan diri saya sendiri yang masih segar saat mengetik tulisan ini walau jam di desktop sudah menunjukkan pukul 22.00 (saya biasanya tidak dapat bangun sampai larut malam). Hal-hal di atas tidak aneh bagi anda? Tidak masalah, yang penting hal-hal tersebut aneh bagi saya.

Membaca tulisan saya di atas, muncullah sebuah pertanyaan, “Mengapa suatu hal bisa menjadi aneh (strange) bagi seseorang, namun bisa biasa-biasa saja bagi orang lainnya?” Hal ini dapat dijelaskan dengan menggunakan salah satu pendekatan psikologis terhadap strangeness, yakni konsep “skema”. Skema ada dan berkembang di dalam diri setiap manusia. Konsep skema sendiri menurut Wyer (dalam Thomas, 1999), terdefinisi sebagai informasi yang ada tentang orang-orang, objek, dan kejadian yang terorganisir ke dalam struktur-pengetahuan dan direpresentasikan secara kognitif sebagai sebuah konfigurasi.

Skema dapat membantu seseorang untuk menginterpretasi sebuah informasi yang baru masuk ke dalam proses pengolahan informasinya. Cara kerja skema adalah dengan membandingkan informasi baru tersebut dengan kumpulan-kumpulan informasi yang sudah terorganisir dan terpisah-pisah (berdasarkan kategori yang dibentuk oleh skema itu sendiri) di dalam pikiran kita.

Skema sudah terbentuk dalam diri manusia bahkan semenjak seseorang masih kecil. Piaget sendiri menyatakan skema sebagai kategori-kategori yang dibentuk untuk mengklasifikasikan pengetahuan sekaligus proses yang perlu dilakukan untuk mendapatkan pengetahuan tersebut, terbentuk pada masa kanak-kanak sesuai tahapan perkembangan kognitif.

Skema yang ada di dalam diri manusia bisa saja mengalami perubahan dan modifikasi. Perubahan skema dapat terjadi ketika ada sesuatu hal yang aneh (strange) terjadi sebagai sebuah stimulus di dalam lingkungan sosial kita. Pada dasarnya, semua stimulus yang kita dapatkan dari lingkungan sosial akan kita bandingkan dengan skema yang ada di dalam pikiran kita. Apabila stimulus yang datang sesuai dengan kategori yang ada di dalam skema kita, stimulus tersebut akan dipandang dengan normal tanpa adanya perhatian tambahan. Lain halnya ketika sebuah stimulus yang muncul aneh atau tidak dapat kita jelaskan dengan skema yang kita miliki, terjadilah strangeness.

Piaget (dalam McLeod, 2009) menyatakan bahwa ketika skema kita mampu menjelaskan stimulus yang ada di lingkungan sekitar, maka pikiran kita akan berada dalam state of equlibrium (keadaan seimbang) yang dicari dan memberi rasa aman. Ada dua pilihan yang menurut saya sering dilakukan oleh orang-orang untuk menjaga keadaan seimbang itu. Satu, memodifikasi skema yang mereka miliki agar dapat mencapai keadaan seimbang. Dua, mengacuhkan keberadaan stimulus baru tanpa harus mengubah skema mereka. Cara yang pertama membutuhkan energi dan usaha lebih namun memiliki efek yang lebih jangka panjang. Menurut saya, memilih untuk tidak mengindahkan stimulus yang aneh menghasilkan keadaan yang nyaman dan seimbang secara instan namun tidak bertahan lama. Hasil penelitian Gerard Neyrand dan Marine M’Sili di Perancis menunjukkan bahwa dari 400 orang pasangan beda ras yang menikah pada interval 1981-1982, 22% di antaranya bercerai setelah 10 tahun, sedangkan pasangan yang ras-nya sama, hanya 14,54% saja yang bercerai (“Intercultural Marriages”, 2013). Pernikahan yang terjadi di antara dua orang yang memiliki latar belakang ras dan etnis yang berbeda berpotensi menghasilkan konflik di antara mereka. Satu orang dapat merasa dipaksa untuk memenuhi tuntutan pasangan yang lebih dominan untuk mengikuti customs dan mengubah skema yang ia miliki dalam mengerjakan berbagai macam hal, menjadi

Memodifikasi skema yang kita miliki dan sudah terbentuk sejak masa muda tidaklah mudah. Kita harus membiasakan diri dengan keadaan yang aneh padahal kita sudah memiliki standar kenyamanan kita sendiri. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa saya memilih pendekatan skema sebagai sarana menjelaskan konsep strangeness.

Konsep skema sendiri menurut saya memiliki kelemahannya dalam memandang dunia. Skema yang kita bentuk ini sangat bersifat subjektif dan tergantung pada apa yang kita alami selama hidup ini. Apa yang kita alami pertama kalinya itulah yang membentuk pemahaman kita terhadap sesuatu. Salah satu yang dapat menyebabkan masalah dengan adanya skema yang menetap adalah munculnya prejudice di dalam diri manusia. Manusia pun memandang dunia dan lingkungan sekitarnya dengan menggunakan skema yang ada di dalam diri mereka. Hal ini dapat menghalangi mereka untuk memasukkan informasi baru ketika informasi tersebut terlihat dapat ‘menyerang’ pemahaman mereka terhadap sesuatu. Akhirnya, kesalahan dalam skema ini dapat membuat mereka melakukan kesalahan ketika hendak menginterpretasi sesuatu. Contoh yang saya alami sendiri adalah skema yang saya miliki tentang pakaian yang pantas untuk datang ke gereja adalah pakaian yang rapi. Hal ini menyebabkan saya ketika melihat si bapak yang menggunakan kemeja lusuh menjadi sedikit curiga bahwa ia bukanlah jemaat gereja melainkan seorang pencuri yang biasa beroperasi ketika jemaat sedang sibuk beribadah. Hal ini kemudian membuat saya menjadi was-was terhadap barang bawaan saya. Ketika ibadah selesai, saya baru menyesali pikiran saya itu. Oleh karena skema saya yang bertentangan dengan stimulus aneh ketidakinginan hati saya memodifikasi stimulus, saya pun mengambil kesimpulan yang salah ketika hendak menginterpretasi sesuatu.

Contoh di atas setidaknya sudah menunjukkan bahwa skema memiliki peranan yang sangat penting dalam menjelaskan keanehan yang kita alami dalam kehidupan kita sehari-hari. Skema membantu kita untuk mengkategorikan informasi yang kita miliki sambil mempertahankannya dari informasi-informasi yang  mungkin mengganggu state of equlibrium diri. Hanya saja seseorang perlu menjadi bijaksana untuk menentukan jikalau harus mempertahankan atau melakukan perubahan terhadap skema yang ia miliki untuk beradaptasi dengan lingkungannya.

Raymond (2010-070-055)

Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

About Poster

Global Indonesian Network – who has written posts on Global Indonesian Network.


Tagged with:
 

Comments are closed.