oleh: Rocky

Saya adalah seorang keturunan Tiong-hoa yang dibesarkan di Jakarta. Pada masa Sekolah Dasar, saya bersekolah di sekolah swasta yang mayoritas muridnya adalah keturunan tiong-hoa. Di dekat sekPemukulanolah saya ada sekolah negri dengan mayoritas keturunan pribumi.

Kejadian yang menurut saya aneh pada saat itu adalah adanya kebiasaan yang dilakukan murid sekolah tetangga saya tersebut. Pada jam pulang sekolah, mereka tidak langsung pulang kerumah melainkan berkumpul sekitar kurang lebih 50 orang dan mencoba masuk ke sekolah saya. Waktu itu, satpam sekolah saya langsung menutup pagar dan melarang kami keluar dari komplek sekolah. Karena tidak diijinkan untuk masuk, tetangga saya ini menunggu di depan sekolah. Tujuan mereka adalah memintai uang ke kami atau biasanya disebut ‘memalak’.

Jika mereka sudah menunggu cukup lama kurang lebih 1 jam dan tetap tidak mau pergi, biasanya kepala sekolah kami akan menelpon kepala sekolah negeri. Setelah ditelpon, selang waktu 5 menit, kepala sekolah tetangga akan datang mengendarai sepeda motor dengan membawa pemukul kasti sambil berteriak, “Bubar, bubar…yang tidak pulang Bapak pukul !!”. Kami yang menonton biasanya  kemudian bersorak” Hore!!…hore!!””, menyemangati Pak Kepala Sekolah tetangga,  seolah-olah dia adalah pahlawan yang mengusir musuh. Kejadian ini terjadi hampir setiap minggu, tidak heran jika sekolah saya  sampai membangun 3 lapis pagar untuk menjaga keamanan murid-muridnya.

Peristiwa rutin ini tentu saja mempengaruhi pola asuh orangtua saya menjadi lebih waspada. Hingga kelas 3 SMP, saya harus pulang diantar jemput dengan kendaraan pribadi. Saya juga tidak diijinkan bermain diluar rumah bersama dengan tetangga sekitar. ‘Pendidikan’ stereoripe terhadap kaum pribumi juga tidak terelakkan saya alami, melalui pesan-pesan yang ditanamkan pada saya, seolah-lah kaum pribumi lebih rendah dan tidak beradab. Mungkin hal ini juga dipengaruhi latar belakang keluarga orangtua saya, yang menjadi korban pembantaian  etnis Tiong-hoa Kalimantan Barat pada tahun 1967.

9780495599647_p0_v1_s260x420Menurut Brewer & Brown (dalam Whitley & Kite, 2010) prasangka adalah sikap yang diarahkan kepada seseorang dikarenakan mereka adalah anggota dari kelompok sosial tertentu. Prasangka berbentuk sikap sehingga dapat dibagi menjadi 3 aspek, yaitu kognitif, afeksi, dan konatif. Kognitif dalam prasangka dapat juga disebut sebagai stereotype. Prasangka sulit dihilangkan karena menyangkut aspek afeksi atau perasaan.

Pola asuh yang diberikan orangtua saya pada waktu itu membuat saya memiliki prasangka pada masyarakat pribumi. Saya merasa tidak aman, takut, hingga melakukan perilaku menjauh dari masyarakat pribumi. Dalam Aronson et al (2010) adalah salah jika kita berpikir kaum minoritas saja yang menjadi target prasangka dari kelompok mayoritas. Kelompok minoritas juga membangun prasangka-prasangka terhadap kaum mayoritas dan diajarkan kepada generasi selanjutnya. Bagi keluarga saya hal ini adalah benar karena dapat mengajarkan kepada saya agar lebih waspada, tetapi jika dipikirkan secara lebih luas saya berpendapat ini salah.

Saya menganggap ‘pendidikan’ yang membangun prasangka pada kelompok lain berdampak negatif terhadap generasi selanjutnya. Pertama orangtua saya secara tidak sadar telah menggeneralisasikan kaum pribumi pada tahun 1967 di Kalimantan Barat dengan seluruh kaum pribumi di Indonesia.  Ketakutan ini diturunkan terus menerus dan membuat generasi selanjutnya memiliki prasangka kepada orang yang salah, dalam kasus saya, yaitu prasangka negatif terhadap masyarakat pribumi di Jakarta.

Kemarahan dirasakan oleh keluarga orangtua saya yang kehilangan harta benda. Dulu Kakek saya adalah seorang petani karet yang memiliki kebun karet, namun harus kehilangan semua kerja kerasnya dan melarikan diri pada peristiwa pembantaian di Kalimantan Barat. Prasangka negatif timbul terhadap kaum pribumi dari peristiwa tersebut. Akibat dari prasangka tersebut, timbulah persepsi bahwa kelompok dirinya lebih baik daripada kelompok diluar dirinya. Prasangka ini sendiri seperti menjadi defense mechanisms atas rasa kehilangan harta benda. Pada masa dimana seseorang mengalami rasa frustasi, seseorang dapat mengeluarkan bentuk kebencian dan agresi (Whitley & Kite, 2010).. Namun jika sumber frustasi tersebut datang dari kelompok yang statusnya lebih tinggi, maka tidak mungkin kebencian dan agresi tersebut ditujukan karena takut akan konsekuensinya. Akibat dari hal tersebut kebencian dan agresi tersebut dipindahkan kepada kaum minoritas, agar konsekuensinya menurun atau hampir tidak ada konsekuensi.

Prasangka dalam hubungan antar kelompok pribumi dan Tiong-hoa terjadi karena dua faktor, buruknya kualitas kontak sosial akibat adanya perbedaan etnis antar dua kelompok ini, dan stereotype negative tentang posisi ekonomi kelompok etnis Tiong-hoa (Bassis, Gelles & Levine dalam Ardyani, 2001).

Setelah mencoba merefleksikan prasangka yang sudah terbentuk dalam diri saya sendiri, pilihan untuk berubah berada pada diri saya sendiri. Bagaimana saya bisa keluar dari prasangka yang terbentuk dengan kesadaran untuk membangun kualitas kontak sosial yang lebih baik. Secara sadar saya mengetahui bahwa kualitas kontak sosial dapat dibagun dari exposure yang didasari kemauan dari diri sendiri.

Daftar Pustaka

Ardyani, F (2001). Hubungan antara prasangka kelompok pribumi dan intensi berperilaku agresi terhadap etnis Cina. Jakarta: Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya.

Aronson, Elliot; Wilson, Timothy D.; Akert, Robin M. (2010). Social psychology. Boston: Pearson Education.

Whitley, JR. B. E. & Kite, M. E. (2010) The Psychology of Prejudice and Discrimination. (edisi ke 3). USA: Wadsworth Cengange Learning

Jefry Suhendra

About Poster

Jefry has Master’s Degree in management from one of leading private university in Indonesia. He is a Client Relation Coordinator at Tjitra & associates, where he manages all marketing – related activities and works closely with the team to support Tjitra & associates’ clients

Jefry Suhendra – who has written posts on Global Indonesian Network.


Tagged with:
 

Comments are closed.