Ditulis oleh: Christina Anjar

meeting2Pertemuan budaya yang pernah saya alami adalah ketika saya bekerja sebagai recruitment officer di sebuah perusahaan Jepang. Sebelumnya, saya telah memiliki pandangan bahwa orang Jepang terkenal dengan kedisiplinan, kerapihan dan dedikasi yang tinggi dalam bekerja. Ketiga hal ini cukup tergambar dari atmosfer kerja yang tercipta di perusahaan ini, khususnya divisi HR. Budaya kerja yang disiplin, rapi, penuh rasa hormat, ditambah dengan rasa kebersamaan dan kekeluargaan, serta kerelaan untuk bekerja lembur sudah mengakar ke seluruh lapisan perusahaan. Sehingga karyawan baru seperti saya pada waktu itu harus peka melihat budaya tersebut dan harus segera menyesuaikan diri.

Namun ternyata ada hambatan komunikasi yang tidak saya antisipasi sebelumya. Rata-rata ekspatriat Jepang tidak terlalu mahir bahasa Inggris, termasukpimpinanpuncaknya. Beliau menggunakan bahasa Inggris dengan logat Jepang yang seringkali sulit dimengerti. Terlebih lagi, tidak ada penterjemah untuk menjembatani percakapan kami. Akibatnya kami harus sama-sama berbicara dengan tempo lambat dan menggunakan bahasa sejelas dan semudah mungkin. Saya sendiri berusaha untuk menggunakan bahasa tubuh untuk mendukung penjelasan saya. Dalam hal ini, percakapan dapat tertolong dengan adanya hasil kerja / laporan dalam bentuk print-out yang selalu saya sertakan.

Masalah lain yang saya alami yaitu minimnya ekspresi wajah dan tanggapan dari bos besar saya ketika berinteraksi. Minimnya wajah dan tanggapan tersebut menggambarkan sebetulnya sejalan dengan yang ciri masyarakat reactive (Lewis, 2006) dan sama dengan kategori Indonesia.  Yang termasuk ke dalam ciri utama orang Reactive adalah kemampuan mendengar yang sangat baik, mahir dalam komunikasi non-verbal, serta nilai-nilai kesopanan. Dalam pengalaman saya tersebut, bos besar saya terkesan menunjukkan atensi terhadap apa yang saya sampaikan (yaitu report hasil evaluasi psikologis calon sekretaris) dan tidak menginterupsi sama sekali. Tidak mengherankan maka pola komunikasi kami terjadi seperti yang dijelaskan dalam buku karangan Lewis (2006) tentang pola komunikasi masyarakat reactive. Pembicara diberi kesempatan untuk menyelesaikan monolog-nya sementara si pendengar bertugas menyimak dan memikirkan kalimat balasan apa yang nantinya perlu disampaikan ketika giliran berbicaranya sudah tiba.

Selain tidak menginterupsi, bos besar juga tidak banyak melakukan kontak mata ketika saya menyampaikan laporan. Beliau lebih banyak mendengarkan sambil melihat laporan tertulisnya dan hanya sesekali melakukan kontak mata. Saya sendiri tidak banyak melakukan kontak mata, lebih disebabkan oleh perasaan gugup. Apabila dilihat dari sudut pandang budaya Jepang, menjaga kontak mata justru merupakan hal yang tidak sopan. Menurut mereka mempertahankan kontak mata (staring) merupakan perilaku yang kasar dan dianggap tidak menghormati. Namun pada saat itu, saya sempat merasa bahwa beliau tidak selalu mendengarkan apa yang saya sampaikan karena minimnya kontak mata tersebut. Saya sendiri merasa sulit untuk menilai apakah yang saya sampaikan sudah cukup bisa dimengerti oleh beliau, karena sama sekali tidak terbaca dari ekspresi wajah ataupun sorotan mata.

1904838022Selain masalah komunikasi, ada juga masalah jadwal kerja. Bos besar saya itu dan ekspat lainnya biasanya bersedia ditemui di pagi hari (pk. 7.30) ataupun di malam hari (pk. 19.00), padahal jam kerja perusahaan ini adalah dari pk.08.30 – 17.30. Hal ini menyebabkan saya harus menyesuaikan jadwal kerja kami apabila ingin bertemu dengan beliau. Bos besar saya itu selalu datang ke kantor paling pagi dan pulang paling larut. Ini membenarkan pandangan saya mengenai betapa tinggi dedikasi orang Jepang terhadap pekerjaannya.

Menurut Lewis (2006), pengalokasian waktu dalam budaya Jepang bukan dititikberatkan pada durasi waktu yang dibutuhkan untuk sebuah aktifitas, namun bagaimana mengelola waktu sedemikian rupa agar nilai-nilai kesopanan dan tradisi tidak terlupakan. Budaya Jepang sangat menjunjung tinggi tradisi dan kesopanan, sehingga di dalam pertemuan-pertemuan ada waktu tersendiri untuk memulai dan menutup sebuah pertemuan. Dalam hal ini, pengalokasian waktu seperti itu tidak dilakukan dalam keseharian kerja di perusahaan ini karena sifatnya yang terlalu formal. Pengaturan waktu dilakukan semata-mata agar semua keperluan dapat terakomodir. Pengalokasian waktunya pun didasarkan pada kebutuhan dan ketersediaan waktu para expatriat.

Berdasarkan pengalaman tersebut akan sangat baik apabila setiap karyawan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai budaya tradisional perusahaan. Dalam konteks perusahaan Jepang, pengetahuan tersebut dapat meliputi cara berkomunikasi dan berinteraksi, gaya kerja serta norma-norma kesopanan yang berlaku bagi budaya tersebut. Pengetahuan tersebut dapat mengurangi terjadinya miskomunikasi verbal ataupun kesalahpahaman dalam menangkap gesture non-verbal. Pengetahuan ini sendiri bisa diperoleh dengan cara eksplorasi secara mandiri ataupun sosialiasasi oleh atasan di departemen masing-masing. Dengan adanya pengetahuan tersebut, diharapkan masalah komunikasi dan interaksi dapat teratasi.

Daftar Pustaka

Lewis, Richard D. (2006). When Cultures Collide, Leading Accross Cultures. Finland : WSBookwell.

Jefry Suhendra

About Poster

Jefry has Master’s Degree in management from one of leading private university in Indonesia. He is a Client Relation Coordinator at Tjitra & associates, where he manages all marketing – related activities and works closely with the team to support Tjitra & associates’ clients

Jefry Suhendra – who has written posts on Global Indonesian Network.


 

Comments are closed.