oleh: Evania Kristiani

Pengalaman saya saat bertemu dengan budaya berbeda yang paling teringat pada saat mengikuti pertukaran pelajar khomestay_familye Brisbane, Australia saat duduk dikelas 3 (tiga) SMA semester pertama. Program ini dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kota Semarang bagi perwakilan siswa dari sekolah yang merintis menjadi standar internasional di Kota Semarang. Pada saat itu saya dituntut harus tinggal selama hampir 2 (dua) bulan sendirian di salah satu keluarga berkebangsaan Australia. Keluarga tersebut terdiri atas sepasang suami istri dan 2 (dua) orang anak.

Sebelum berangkat, saya sudah memiliki pemikiran bahwa saat tinggal disana nanti akan merasa tidak nyaman dan harus kerja kerasa beradaptasi dengan lingkungan berbeda: menu makanan dan pola hidup yang berbeda, belum lagi pola sosialisasi dan interaksi dengan lawan jenis yang pastinya kontras dengan keseharian saya. Pemikiran saya mengenai bagaimana keadaaan saya saat akan tinggal disana ini dapat dikatakan sebagai stereotype, yaitu penilaian penyerdehanaan atau suatu pandangan yang terbentuk dalam pikiran bisa berasal dari aspek kognitif ataupun afektif (Lipman dalam Gudykunst, 1997) Stereotype yang saya bentuk mengenai pola hidup orang Australia berasal dari pengetahuan yang didapatkan dari media mengenai bagaimana pola hidup orang Australia.

Pada kenyataannya,  dalam seminggu pertama saya tinggal bersama keluarga angkat saya di Brisbane, yang terjadi sangat berbeda dengan pemikiran yang saya bayangkan, terutama mengenai cara mereka bersosialisasi dan menu makanan. Hari pertama, orang tua angkat saya sudah menawarkan untuk menyiapkan menu makanan seperti di Indonesia, jika saya menginginkannya. Bahkan mereka sudah membeli salah satu merek mie instant Indonesia agar saya betah tinggal bersama dengan mereka. Selain itu saya diperbolehkan untuk mandi sesering kebiasaan saya di Indonesia dan menyalakan lampu kamar karena saya tidak biasa tidur dengan lampu gelap. Stereotype saya mengenai warga berkebangsaan Australia berubah. Pada dasarnya mereka dapat menghormati budaya dan kebiasaan saya sebagai warga berkebangsaan Indonesia yang hampir setiap hari mendapatkan asupan karbohidrat dari nasi.

Meski demikian, bukan berarti saya tidak punya masalah adapatasi. Gaya hidup dan kebiasaan warga kebangsaan Australia yang selalu tepat waktu cukup menyulitkan saya. Setiap harinya  orangtua angkat saya mengantar saya dan kedua saudara angkat saya. Kebiasaan saya di Indonesia yang tidak tepat waktu membuat saya beberapa kali ditinggal dan saya harus menunggu bis sekolah. Waktu itu Brisbane sedang musim penghujan sehingga saya sering kehujanan. Hal ini cukup membuat saya kurang nyaman, meskipun jika saya kehujanan saat pulang sekolah, ibu angkat saya akan membuatkan coklat panas.  Di Brisbane saya baru merasakan tidak enaknya kalau tidak ada macet karena semuanya menjadi tepat waktu.

4466_Gudykunst_Theorizing_72ppiRGB_150pixwHal lainnya yang membuat saya tidak nyaman adalah mereka hampir tidak pernah berdoa sebelum makan malam. Layaknya orang Kristiani, saya diajarkan dalam keluarga bahwa  sebelum melakukan apapun termasuk makan akan mengangkat doa mengucap syukur atas berkat dan mendoakan orang lain yang tidak beruntung. Bagi saya terasa janggal melihat mereka, padahal saat perkenalan pertama kali, mereka mengatakan bahwa agama mereka adalah Kristen Protestan seperti saya.  Namun tidak pernah saya melihat mereka berdoa sebelum makan, sebelum tidur, dan melakukan kegiatan yang lainnya.

Perbedaan kebiasaan di lingkungan sekolah juga tidak mudah saya terima. Sekolah-sekolah di Indonesia  memiliki kantin lebih dari satu dan menu makananan yang beragam sehingga saat sedang istirahat kita memiliki banyak pilihan makanan ditambah apabila sudah kenal baik dengan penjaga kantin maka kita didahulukan dengan yang lain. Berbeda di Park Ridge School, tempat saya sekolah. Waktu istirahat sekolah  adalah satu setengah jam, jauh lebih panjang daripada di Indonesia yang hanya 15 menit. Mendengar hal itu awalnya saya senang. Namun ternyata waktu istirahat  sepanjang itu diberikan karena hanya ada satu kantin disekolah tersebut dan kita harus mengantri. Belum lagi menu makanan yang sama. Antrian yang panjang dan menu makanan yang tidak bervariasi membuat saya  lama kelamaan malas dan bosan. Tidak terbayangkan sebelumnya, bahwa saya harus makan makanan yang sama selama 2 bulan.

Namun demikian, yang paling menyulitkan saya adalah bagaimana cara mereka mengungkapkan perasaan atau apa yang mereka sukai dan tidak sukai. Saat itu dengan niat baik saya membawakan kain batik untuk ibu angkat saya di Brisbane dengan kualitas cukup baik agar dapat menjahit kain tersebut sesuai keinginan dan selera masing-masing.  Bukannya ucapan terima kasih sebagaimana umumnya akan terjadi di Indonesia, komentar yang diberikan ibu angkat saya pada saat saya berikan adalah, “Oh my God, a tailor is expensive here Eva! Thank you anyway”. Sebenarnya tidak menjadi masalah yang besar karena bagaimanapun ibu angkat saya sudah mengucapkan terima kasih. Tetapi tetap saya ada ‘ganjalan’ bagi saya karena menurut saya hal itu kurang sopan dan terkesan tidak menghargai orang lain.

Kejadian yang saya alami di atas sejalan dengan yang dijelaskan Richard D. Lewis (2006) tentang dimensi budaya linear active dan budaya reactive. Masyarakat yang linear active ditandai dengan persepsi terhadap waktu yang akurat dan mengutamakan perencanaan serta pola komunikasi yang lugas serta tidak segan-segan menyampaikan apa yang dipikirkan dan dirasakannya. Berbeda dengan itu, masyarakat reactive mempersepsikan waktu dengan lebih longgar dan mengutamakan pengendalian emosi saat berkomunikasi, sopan santun dan mimik wajah dijaga senetral mungkin walaupun kurang nyaman atau tidak suka pada suatu hal. Religi juga dipandang lebih penting.

DAFTAR PUSTAKA

Gudykunst. 2007. Theorizing About Intercultural Communication. California : Sage Publications, Inc.

Lewis, Richard D. 2006. When Cultures Collide : Leading Across Cultures. Boston : Nicholas Brealey Publishing

Jefry Suhendra

About Poster

Jefry has Master’s Degree in management from one of leading private university in Indonesia. He is a Client Relation Coordinator at Tjitra & associates, where he manages all marketing – related activities and works closely with the team to support Tjitra & associates’ clients

Jefry Suhendra – who has written posts on Global Indonesian Network.


Comments are closed.