oleh: Vincentia A. Stephanie Gozali

kota-kota-terbersih-di-indonesia-2Beberapa tahun yang lalu, saya pergi berlibur ke Yogyakarta.Sebagai turis lokal yang berasal dari Palembang, tentunya saya bertujuan mengunjungi tempat wisata yang ada disana. Moda transportasi yang saya gunakan adalah becak. Mencari becak cukup mudah dan para penarik becak jugamengetahui tempat-tempat wisata yang biasa dikunjungi oleh turis lokal maupun asing. Mereka juga cukup ramah terhadap turiskarena  biasanya penarik becak dan penumpang akan saling mengobrol. Hal seperti ini tentunya sangat menyenangkan bagi turis karena merasa diterima dan dilayani oleh penduduk lokal.

Pada suatu ketika, saat sedang berada di becak, saya dengan santainya saya bersiul. Di jalanan yang saya lalui waktu itu juga terdapat burung-burung peliharan warga. Perjalanan serta lingkungan pada waktu itu sangat menyenangkan dan pas sekali untuk diselingi dengan siulan. Namun tanpa saya sangka, saat sedang bersiul, penarik becak saya menegur saya dan mengatakan bahwa saya dilarang bersiul. Saya menanyakan alasannya dan ia hanya mengatakan tidak boleh kemudian diam sepanjang perjalanan menuju tempat tujuan saya.

Saya heran dengan larangannya kepada saya untuk tidak bersiul. Dan lebih herannya lagi adalah penarik becak tersebut menjadi berubah perilakunya kepada saya setelah ia melarang saya bersiul. Padahal menurut saya, bersiul itu sah-sah saja apalagi ketika “memancing” burung untuk berkicau. Sejak dulu saya diajarkan untuk bersiul dan tidak ada larangan sama sekali untuk bersiul. Bahkan akan diajarkan bersiul sampai lancar karena diperlukan juga untuk melatih burung peliharan agar bisa bersiul.

Karena masih tetap bingung dan tidak mendapat penjelasan, saya menanyakan larangan bersiul tersebut kepada kakak saya yang memang sudah lama bersekolah di Yogyakarta. Ia mengatakan bahwa menurut adat orang Jawa, anak perempuan dilarang bersiul. Akhirnya saya pun menurut untuk tidak bersiul di tengah jalan saat di Yogyakarta walaupun saya masih merasa bingung.

Pengalaman saya itu dapat dikategorikan sebagai strangeness. Strangeness merupakan fenomena yang terjadi ketika situasi, objek, atau seseorang dirasa asing, atau ketika seseorang merasa terasingkan (Thomas, 1992). Perbedaan budaya yang asing untuk kedua pihak juga tidak menimbulkan perasaan yang nyaman. Sebagai turis pendatang dari luar daerah, tentunya ada beberapa peraturan atau kebiasaan yang tidak sama. Ketika perbedaan kebiasaan itu muncul, maka kedua pihak akan merasakan keasingan. Pihak pendatang tentunya akan lebih merasa terasing dibandingkan dengan pihak tuan rumah.

Dalam hal ini, keanehan atau strangeness yang muncul ialah perbedaan pemaknaan bersiul pada saya (pendatang) dan penarik becak (tuan rumah). Saya memaknai perempuan yang bersiul sebagai suatu hal yang menyenangkan, menghibur diri, dan untuk melatih burung berkicau. Sedangkan penarik becak di Yogyakarta tersebut memaknai seorang perempuan yang bersiul itu tidak baik dan tidak sopan. Menurut adat kebiasaannya hal itu tidak boleh dilakukan.Perbedaan konsep ini yang kemudian membuat kedua pihak terkejut ketika hal tersebut muncul. Penarik becak tersebut terkejut, merasa aneh dan tidak pantas ketika ada perempuan yang bersiul dan saya juga terkejut serta aneh ketika ada orang lain yang melarang saya (perempuan) bersiul di tengah jalan. Padahal menurut saya, hal tersebut boleh saja dilakukan.

img_6062Konsep strangeness pada pengalaman ini dapat dilihat dari beberapa hal seperti skema yang dimiliki masing-masing pihak dan teori kognitif disonan. Skema menurut Thomas (1992) adalah informasi tentang orang, objek dan kejadian yang tersusun dalam sebuah struktur pengetahuan dan terwakili secara teoritis sebagai suatu susunan. Skema akan muncul secara cepat dan bisa diakses dengan mudah oleh masing-masing individu. Pada suatu kondisi tertentu, individu akan langsung bisa menggunakan skema yang sudah mereka miliki sebelumnya. Tentunya skema yang dimiliki setiap individu tidak akan sama. Jika pada suatu situasi tertentu tidak terdapat skema yang memadai, maka akan bisa dirasakan dan diinterpretasikan aneh (strange) (Thomas, 1992).

Pada pengalaman yang saya rasakan, terlihat nyata terjadinya skema yang berbeda dan bagaimana skema berbeda tersebut mempengaruhi perilaku yang berbenturan juga. Skema saya tentang ‘bersiul’ adalah tindakan yang wajar jika melihat ada burung dan ingin membuatnya berkicau, juga jika suasananya menyenangkan.Jadi ketika saya ditegur dan dilarang oleh penarik becak, muncul keanehan dan kebingungan. Skema tentang ‘bersiul’ yang dimiliki  penarik becak  tidak mencakup ‘perempuan’. Karena menurut adat dan kebiasaan di daerahnya, hal tersebut tidak sopan dan tidak baik untuk dilakukan oleh perempuan.Maka berdasarkan skemanya ini, wajarlah jika ia mengingatkan saya agar saya terhindar dari kesan “orang aneh yang tidak tahu adat”.Jelaslah bahwa  kedua belah pihak merasakan masing-masing pihak lawan adalah aneh karena tidak sesuai dengan skema yang mereka miliki masing-masing.

Reaksi kedua pihak di atas, adalah apa yang disebut sebagai cognitive dissonance. Fenomena ini terjadi ketika seseorang menghadapai orang lain, objek atau kejadian yang tidak biasa ia rasakan, aneh dan tidak sesuai dengan ekspektasi yang ia harapkan (Thomas, 1992). Individu akan berusaha untuk menyesuaikan ketidaksesuaian pengertian yang ia alami. Jika berhasil, maka ia akan mencapai cognitive consonance. Namun sebaliknya, jika ia tidak berhasil menyesuaikan ketidaksesuaian pengertian yang ia alami, maka ia akan mengalami cognitive dissonance.

Pengalaman yang saya alami pada waktu di Yogyakarta tersebut tidak sesuai dengan pengalaman dan ekspektasi yang saya harapakan sebelumnya. Sebelumnya saya akan diapresiasi jika saya mampu bersiul dengan lancar dan pengalaman saya menunjukkan hal tersebut. Sehingga terjadi cognitive dissonance  pada saya. Si penarik becak juga mengalaminya karena perilaku bersiul saya, yang melanggar adat dan kesopanan setempat.

Pengalaman saya  menunjukkan bahwastrangeness  sangat bisa terjadi pada pertemuan budaya karena perbedaan adat istiadat dan kebiasaan setiap daerah tidaklah sama. Setiap individu yang akan datang ke tempat baru perlu untuk mengetahui adat istiadat daerah tersebut agar mengurani terjadinya cognitive dissonance dari masing-masing pihak.

Jefry Suhendra

About Poster

Jefry has Master’s Degree in management from one of leading private university in Indonesia. He is a Client Relation Coordinator at Tjitra & associates, where he manages all marketing – related activities and works closely with the team to support Tjitra & associates’ clients

Jefry Suhendra – who has written posts on Global Indonesian Network.


Tagged with:
 

Comments are closed.