pluralitas-ilustrasi-_121102232110-276Masyarakat majemuk seperti Indonesia menghidupi pertemuan budaya dari hari ke hari, terlebih di kota besar seperti Jakarta. Hampir dalam setiap aktivitas, kita berinteraksi dengan orang yang sangat mungkin berbeda budaya. Ditambah dengan meningkatnya teknologi komunikasi yang dengan segera menghadirkan dunia global ke depan mata kita: barang bermerk dunia, berita tentang tokoh dunia, termasuk juga kontak dengan rekan dan kerabat dari mancanegara. Di dunia organisasi, pertemuan budaya dirasakan saat kita bekerja dalam tim multinasional atau di perusahaan multinasional (MNC).

Kebanyakan dari kita mungkin merasa bahwa pertemuan budaya tidak mudah. Tidak perlu khawatir, karena kebanyakan studi antar budaya menyimpulkan hal yang sama. Alexander Thomas, profesor psikologi antar budaya berkebangsaan Jerman, menyatakan bahwa pertemuan budaya merupakan kondisi keterasingan psikologis bagi individu. Apakah itu? Suatu kondisi ketika seseorang kehilangan struktur dan arah pikir yang sudah dikenalinya selama ini dan memberinya rasa nyaman. Pada saat pola komunikasi, tindak tanduk, dan cara pikir yang selama ini dirasakannya lazim, tiba-tiba kurang efektif, bahkan dianggap salah. Maka reaksi yang timbul adalah rasa aneh, asing, bingung, dan pada kondisi ekstrem dapat menyebabkan ketegangan emosional dan psikologis.

Selanjutnya, Thomas menunjukkan bahwa topik keterasingan cukup sentral dalam bahasan psikologi. Keberagaman nuansanya sangat menarik, menjadikannya sebuah bahasan yang sekaligus juga  menunjukkan keberagaman school of thought dalam psikologi.

Pada satu sisi, ada psikologi kognitif yang memandang keterasingan sebagai kebingungan berpikir (disonansi). Meskipun dapat membawa kebingungan, keterasingan dipandang sebagai hal yang sangat lumrah terjadi sehari-hari, sesederhana bingungnya seseorang ketika melihat budaya tertentu yang menggelengkan kepala untuk menyatakan setuju. Kebingungan seperti ini dapat mengganggu seseorang tetapi biasanya tidak perlu dikhawatirkan berlebihan, bahkan dapat mengarah pada ciri berpikir yang positif, yaitu membentuk rasa ingin tahu (curiosity). Sama halnya dengan kebingungan berpikir, rasa ingin tahu membangkitkan perasaan kurang nyaman pada individu karena terganggunya keseimbangan intelektual yang selama ini terjadi. Rasa ingin tahu dan kebingungan berpikir baru terselesaikan setelah individu menemukan jawaban. Dalam berkesplorasi mencari jawaban, individu mengalami kematangan kapasitas intelektualnya melalui jejaring informasi yang terbentuk semakin kompleks dan sempurna dalam benaknya. 

Keterasingan psikologis dipandang sebagai sebuah proses perkembangan psikologis yang mendasar. Psikologi perkembangan yang mempelajari perubahan kematangan individu dari mulai lahir hingga usia tua, memandang keterasingan sebagai tanda penting berkembangnya kematangan psikologis. Coba Anda bandingkan reaksi bayi yang berusia 1 bulan dan yang berusia 8 bulan saat Anda mengambilnya dari gendongan ibunya. Bayi yang berusia lebih tua akan lebih mampu mengenali Anda sebagai orang asing, dan mungkin menangis ketika Anda menjauhkannya dari ibunya. Tingkah lakunya ini menandakan bahwa si bayi sudah mampu mengenali lingkungan terdekatnya, dan karenanya bereaksi negative pada orang asing yang berusaha menjauhkannya dari lingkungannya. Pada titik ini, comfort zone sudah terbentuk pada bayi tersebut, dan bila berkembang dengan baik, akan menjadi jejaring rasa aman yang memampukannya berkembang secara optimal. Jelaslah bahwa psikologi perkembangan  memandang keterasingan sebagai sebuah hal yang positif, membawa kepada kematangan psikologis individu.

Bisa terlihat bahwa kedua pandangan di atas mengetengahkan keterasingan sebagai kondisi yang menantang individu, tidak nyaman tetapi sekaligus berpotensi membawa individu pada tahap kematangan berikutnya, baik dalam artian kematangan pribadi dan peningkatan kapasitas intelektual. Apakah semua perspektif psikologi sepakat memandang keterasingan sebagai sebuah tantangan mental? Ternyata tidak juga.

Perspektif yang sama sekali berbeda ditawarkan oleh psikologi klinis. Ranah psikologi yang paling fokus pada perilaku abnormal ini memandang keterasingan psikologis sebagai kondisi gangguan kejiwaan. Tidak selarasnya aspek-aspek psikologis individu muncul dalam polah  individu yang mulai merasa asing dengan realita yang dihadapinya. Rasa takut berlebihan terhadap benda-benda yang tidak mengancam (dikenal sebagai phobia), perilaku intens yang berlebihan (neurosis). Dalam kondisi yang ekstrem, individu bisa menjadi asing dengan dirinya sendiri, atau yang dikenal sebagai gangguan psikosis, contohnya schizophrenia.

Keluar dari tataran analisis individual, perspektif psikologi antar kelompok juga memandang keterasingan sebagai dasar dari gangguan pada hubungan antar kelompok. Rasa asing karena menghadapi perbedaan kelompok memunculkan perasaan tidak nyaman yang mengawali sikap-sikap negative terhadap kelompok lain, mulai dari stereotype, prasangka, ethnosentris, dan sebagainya. Biasanya individu mengembangkan perasaan positif terhadap kelompoknya sendiri. Namun demikian, keberbedaan juga dapat memunculkan perasaan ketertarikan yang mendorong individu mengenali kelompok tersebut, dan saat sudah mengenalinya, menjadi lebih positif terhadap kelompok itu.

Kembali pada konteks pertemuan budaya, tampaknya  semua perspektif tersebut  menyumbang pada pemahaman yang utuh tentang pertemuan budaya. Kebingungan kognitif yang berpotensi menjadi keluwesan berpikir,  kematangan psikologis yang muncul sebagai hasil mengelola keterasingan, friksi dan konflik antar kelompok, hingga gangguan emosional dan psikologis, adalah hal-hal yang nyata terjadi dalam pertemuan budaya. Masyarakat majemuk seperti Indonesia boleh dikatakan tidak asing dengan fenomenanya.

Pertanyaannya adalah: bagaimana pemahaman mengenai keterasingan ini dapat membantu kita mengelola keberagaman budaya. Jelas sekali bahwa semua perspektif psikologi mengedepankan familiarity sebagai situasi yang memberi rasa aman dan nyaman. Rasa asing yang berhasil diubah menjadi sesuatu yang familiar baru akan bermanfaat untuk pengembangan individu. Untuk menghilangkan sama sekali keterasingan dari aspek pertemuan budaya, tampaknya tidak mungkin. Namun demikian, meminimalkan rasa asing masih mungkin dilakukan. Hal yang terakhir ini yang diupayakan melalui berbagai inisiatif untuk mengembangkan intercultural competence, pemberian intercultural training, intercultural coaching, dan sebagainya. Tujuan akhirnya adalah membekali individu dengan wawasan maupun ketrampilan untuk dapat mengakrabi perbedaan budaya dan mengelolanya dengan optimal agar dapat menjalani kemajemukan dengan lebih efektif.

Dr. Hana Panggabean

Director School of Graduate Program 

Atma Jaya Catholic University of Indonesia

About Poster

Global Indonesian Network – who has written posts on Global Indonesian Network.


Tagged with:
 

Comments are closed.